Sumber daya energi terutama migas dan minyak bumi yang dimiliki Indonesia telah memberikan kontribusi ekonomi
yang besar bagi pembangunan nasional selama bertahun-tahun. Namun
kondisi tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun, ditandai dengan
makin seringnya terjadi gangguan kekurangan pasokan energi dan listrik
di beberapa daerah, serta besarnya subsidi untuk kedua sektor tersebut.
Berikut beberapa permasalahan energi primer yang memerlukan
penyelesaian dalam bentuk terobosan kebijakan yang komprehensif.
a. Produksi Minyak Bumi dan Gas Nasional
Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1977, produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami trend
menurun, bahkan sejak tahun 2010 hanya mampu berproduksi kurang dari 1
juta barrel per hari. Hal ini disebabkan karena kegiatan ekplorasi
minyak masih mengandalkan sumur-sumur tua yang produksifitasnya terus
merosot, tidak adanya lapangan baru yang dibuka (kalaupun ada sangat
sedikit dan hasilnya kurang sesuai yang diharapkan) dan tidak ada
kegiatan enhanced oil recovery (EOR) yang berarti. Pada sisi
lain kebutuhan BBM dalam negeri terus meningkat lebih dari 1.300 ribu
barrel per hari. Peningkatan kebutuhan BBM ini akan meningkatkan impor
minyak mentah dan impor produk BBM, dan di sisi lain menurunkan ekspor
minyak mentah karena sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Sebagai akibatnya terjadilah “perdagangan negatif“ produk
minyak, sehingga Indonesia tergelincir menjadi negara pengimportir
minyak (net oil importer country). Dengan posisi sebagai
importir neto ditambah harga minyak mentah dunia yang terus melonjak,
sudah barang tentu kebutuhan anggaran untuk subsidi BBM dari tahun ke
tahun semakin besar. Apabila posisi sebagai importir neto tidak dapat
diperbaiki maka Indonesia akan terjerumus ke dalam “ketergantungan
impor“ yang sangat besar, sehingga perlu adanya terobosan di bidang
penyediaan migas.
Bagi Indonesia energi migas masih
menjadi andalan utama perekonomian, baik sebagai penghasil devisa maupun
pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Pembangunan prasarana dan
industri yang sedang giat-giatnya dilakukan di Indonesia membuat
pertumbuhan konsumsi energi rata-rata mencapai 7% dalam 10 tahun
terakhir.
Peningkatan yang sangat tinggi melebihi rata-rata kebutuhan energi
global mengharuskan Indonesia untuk segera menemukan cadangan migas
baru, baik di Indonesia maupun ekspansi ke luar negeri. Sebagian besar
ladang minyak di Indonesia berada di daratan dengan kondisi yang sudah
tua dan dengan cadangan minyak yang semakin menipis. Bappenas
menyatakan bahwa minyak bumi di Indonesia diperkirakan akan habis dalam
kurun waktu 14 tahun lagi, sedangkan Dana Moneter Internasional (IMF)
memprediksi cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 9
tahun lagi, atau tepatnya tahun 2020.
Disamping cadangan minyak yang semakin menipis, eksplorasi minyak di
daratan juga terbukti berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial
masyarakat, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik horisontal maupun
vertikal di masyarakat. Oleh karenanya perlu dicari alternatif baru,
yaitu eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai dan laut dalam yang
diduga memiliki potensi cadangan minyak sangat besar agar
ketergantungan impor dapat dihindari. Disadari bahwa hal tersebut
membutuhkan teknologi tinggi dan investasi yang sangat besar, namun
belajar dari pengalaman negara lain, seperti Venezuela, Brasil dan
Norwegia, investasi yang besar tersebut dapat kembali dalam waktu yang
relatif singkat dan sepadan dengan hasil yang didapatkan.
Gambar 1. Produksi Minyak, Konsumsi dan Export Import Nasional (Sumber: Kementerian ESDM, 2010)
Potensi sumber daya minyak dan gas bumi
Indonesia masih cukup besar untuk dikembangkan terutama di daerah-daerah
terpencil, laut dalam, sumur-sumur tua dan kawasan Indonesia Timur yang
relatif belum dieksplorasi secara intensif. Sumber-sumber minyak dan
gas bumi dengan tingkat kesulitan eksplorasi terendah praktis kini telah
habis dieksploitasi dan menyisakan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Sangat jelas bahwa mengelola ladang minyak sendiri menjanjikan
keuntungan yang luar biasa signifikan. Akan tetapi untuk dapat
mengetahui potensi tersebut diperlukan teknologi yang mahal, modal yang
besar, waktu yang lama dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta expertise dari
sumberdaya manusia. Untuk mengatur usaha minyak dan gas bumi di hulu
dan hilir, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah, namun
belum dapat meningkatkan investasi di sektor minyak dan gas bumi.
Berdasarkan hasil Global Petroleum Survey 2011 oleh Fraser Institute, terdapat enam faktor yang menghambat investasi sektor migas di Indonesia, yaitu pemberlakuan asas cabotage, tidak jelasnya iklim investasi, tumpang tindihnya peraturan, cost recovery
yang semakin ditekan, perilaku korup dan hukum yang tidak dapat
dipercaya, serta ancaman bagi warga negara asing terkait tuduhan
perusakan lingkungan hidup.
Dalam beberapa tahun belakangan ini
penyediaan BBM dalam negeri tidak dapat seluruhnya dipenuhi oleh kilang
minyak domestik, hampir 20%-30% kebutuhan minyak bumi dalam negeri
diimpor dari luar negeri. Kebutuhan impor minyak bumi ini diperkirakan
akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan
pertumbuhan ekonomi nasional yang terus membaik. Menurut BP-Migas,
penurunan jumlah produksi minyak tersebut disebabkan terjadinya
penurunan produksi dari lapangan existing yang lebih cepat dari perkiraan.
Sekitar 90 persen dari total produksi minyak Indonesia dihasilkan dari
lapangan yang usianya lebih dari 30 tahun, sehingga dibutuhkan investasi
yang cukup besar untuk menahan laju penurunan alaminya. Sayangnya
upaya menahan laju penurunan produksi lapangan tua tersebut yang
mencapai 12 persen per tahun gagal dilaksanakan, sementara upaya untuk
menyangga produksi melalui produksi lapangan baru sangat bergantung
kepada kinerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Industri minyak dan gas bumi merupakan
sektor penting di dalam pembangunan nasional baik dalam hal pemenuhan
kebutuhan energi dan bahan baku industri maupun sebagai penghasil devisa
negara, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin.
Untuk menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri,
andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan
serta untuk mendorong perkembangan potensi dan kesinambungan pembangunan
nasional, maka telah ditetapkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
Undang-undang tersebut merupakan landasan hukum bagi pembaharuan dan
penataan kembali kegiatan usaha migas nasional, namun dalam
implementasinya masih belum mampu mengangkat lifting produksi minyak nasional sesuai target yang ditetapkan dalam APBN.
b. Ketersediaan Sumber Energi di Provinsi Sumatera Selatan
Perkembangan ketersediaan energi di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi global, terutama terkait
dengan harga minyak mentah dunia. Pemakaian energi mix di Indonesia
saat ini lebih dari 90% menggunakan energi yang berbasis fosil, yaitu
minyak bumi 54,4%, gas 26,5% dan batubara 14,1%. Sebagai negara yang
sedang berkembang, Indonesia membutuhkan sumber energi yang mencukupi
untuk mendukung industri yang akan menjadi penopang pembangunan. Oleh
karena itu dibutuhkan terobosan-terobosan untuk dapat mengatasi
kebutuhan energi tersebut, antara lain dengan meningkatkan produksi
minyak pada sumur existing dan melakukan penelitian dan pengembangan
untuk mencari energi alternatif.
Ketersediaan sumber daya energi saat
ini, terutama energi fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batu bara
semakin terbatas dan menurun produksinya, mengingat cadangan terbukti
batubara, gas alam, dan minyak bumi, secara berturut-turut hanya sebesar
0,55%; 1,39%; dan 0,43% dari cadangan terbukti dunia saat ini. Kondisi
inilah yang mendasari ditetapkannya Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional. Proporsi baru dalam Perpres ini akan
mengubah peta penggunaan energi primer Indonesia dari sekitar 50% minyak
bumi pada tahun 2005 menjadi hanya 20% pada tahun 2025, atau dari
sekitar 5% Non-Fosil menjadi 15% Non-Fosil pada kurun waktu yang sama.
Menurut data dari Kementerian ESDM,
potensi energi nasional 2008 seperti yang tercantum pada Tabel 1
terdiri dari energi fosil dan energi nonfosil. Terlihat bahwa cadangan
terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 milyar barel (sama
dengan 0,3% cadangan terbukti dunia), namun energi non minyak memiliki
cadangan yang lebih besar.
Produksi minyak Indonesia pada tahun 2008 sebesar 357 juta barel,
ekspor minyak mentah sebesar 146 juta barel, impor minyak mentah sebesar
93 juta barel dan impor BBM sebesar 153 juta barel. Dengan konsumsi
457 barel, maka terdapat defisit sebesar 100 juta barel per tahun.
Sebagai Negara net importer minyak dan yang tidak memiliki
cadangan terbukti minyak yang banyak, tidak bijaksana apabila harga BBM
di dalam negeri mengikuti harga BBM di negara-negara yang cadangan
minyaknya melimpah.
Ketersediaan energi nasional yang
diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan energi dalam mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pada saat ini cadangan minyak
bumi terbukti diperkirakan sebesar 9,1 milyar barel, dengan tingkat
produksi 387 juta barrel per tahun dan tidak ada penambahan eksplorasi
maka cadangan tersebut akan habis dalam waktu 23 tahun. Cadangan Gas
diperkirakan sebesar 170 TSCF (trilion standart cubic feed),
dengan tingkat produksi 2,97 TSCF per tahun dan tidak ada penambahan
eksplorasi maka cadangan tersebut akan habis dalam waktu 62 tahun.
Sedangkan cadangan Batubara diperkirakan sebesar 58 miliar ton,
dengan tingkat produksi 132 juta ton per tahun dan tidak ada penambahan
eksplorasi maka cadangan tersebut akan habis dalam waktu 23 tahun.
Indonesia memang masih memiliki cadangan cukup besar, namun dengan
kapasitas produksi dan eksplorasi per tahun yang terus meningkat, maka
cadangan tersebut akan habis dalam waktu yang lebih cepat dari perkiraan
semula. Pada sisi lain produksi minyak yang tidak mencukupi kebutuhan
dalam negeri, besarnya subsidi harga minyak yang jika dilakukan
penyesuaian dengan harga internasional dapat menyebabkan terjadinya
gejolak sosial dan masih banyaknya wilayah yang belum mendapatkan
pasokan energi listrik, merupakan permasalahan yang tidak mudah untuk
dipecahkan.
3. pemanfaatan Sumber daya energi terutama migas dan minyak bumi
Mengingat cadangan energi yang potensial
untuk dimanfaatkan masih melimpah, maka diperlukan suatu upaya dari
pemerintah untuk mendorong agar sumber-sumber minyak dan gas bumi yang
sudah ditemukan segera berproduksi dan mendorong pemanfaatan sumber
energi memperkuat sektor migas. Begitu juga di provinsi sumatera selatan. pemanfaatan nya katersediaan nya sumber daya energi terutama migas dan batu bara untuk mendukung ketahanan energi nasional sangat di butuh kan. bila kita tahu cadangan energi nasional khusus nya di provinsi sumatera selatan telah berkurang sebaik nya kita tahu cara pemanfaatan nya dengan baik. sebalik menunggu energi alternatif yang yang baru kita harus mulai untuk memanfaat kan energi sumber daya alam khusus nya migas dan minyak bumi. Pemanfaatan nya migas n minyak bumi dengan baik adalah seperti kita melakukan penghematan listrik dan memakai solar cell untuk kantor-kantor pemerintahan, sekolah, maupun industri rumah tangga. Dengan kita dapat melakukan pengurangan pemborosan sumber daya terutama gas dan dan minyak bumi di sumatera selatan ini sebanyak 50%. Pemanfaatan sumber daya gas dan minyak bumi dengan baik khusus nya di Provinsi Sumatera Selatan dapat di jadikan acuan atau contoh bagi provinsi-provinsi di indonesia. dengan demikian Provinsi sumatera Selatan akan menjadi Lumbung Energi Sekaligus provinsi terhemat sumber daya migas dan minyak bumi di Indonesia.
Referensi
Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional
PLTN Menjamin ketahanan Penyediaan Listrik Nasional, Naskah Pernyataan Sikap MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN. Feb, 2010.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar